Selasa, 08 November 2011

Asuhan Keperawatan Cedera Kepala


CEDERA KEPALA
I.     KONSEP MEDIS
A.   Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah ( bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
B.   KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1.      Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2.      Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3.      Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
·      Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak.
·      Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra.
C.      ETIOLOGI
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
D.   Glasgow Coma Seale (GCS)
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
Skala GCS :
Membuka mata :               Spontan                                   4
                        Dengan perintah                     3
                        Dengan Nyeri                          2
                        Tidak berespon                       1
Motorik :                            Dengan Perintah                     6
Melokalisasi nyeri                   5
Menarik area yang nyeri        4
Fleksi abnormal                      3
Ekstensi                                   2
Tidak berespon                       1
Verbal :                               Berorientasi                            5
Bicara membingungkan         4
Kata-kata tidak tepat              3
Suara tidak dapat dimengerti 2
Tidak ada respons                   1

E.    Anatomi Kepala
1.        Kulit kapala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi.
2.        Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.
3.        Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan diameter.
·         Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :
1.      Melindungi otak
2.      Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ).
3.      Membentuk periosteum tabula interna.
·         Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural mempunyasedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala.
·         Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel.
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system vena.
4.        Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
1. Efek langsung trauma pada fungsi otak,
2. Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial).
5.        Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak
(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.

F.    Jenis-Jenis Cedera Kepala
1.      Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2 bentuk fraktur ini : fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur tengkorak seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup serius karena les dapat keluar melalui fraktur ini.
2.      Cedera otak dan gegar otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna . Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan suplay darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak tengah yang menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia rehogate,dan pasien sembuh cepat. Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi.
3.      Komosio serebral
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberap detik sampai beberapa menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan amnesia atau disonentasi.
4.      Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%).
5.      Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi )
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur hilang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura dan tengkorak daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.
6.      Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan aneusrisma. Hemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut, subakut atau kronik.
·                hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau lasersi
·                Hemotoma subdural subakut adalah suatu kontusio sedikit berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala.
·                Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor terjadi pada lansia.
7.      Hemotuma subaradinoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.
8.      Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur, gerakan akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.

G.   MANIFESTASI KLINIS.
1.        Nyeri yang menetap atau setempat.
2.        Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3.        Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4.        Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5.        Penurunan kesadaran.
6.        Pusing / berkunang-kunang.
7.        Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8.        Peningkatan TIK
9.        Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10.    Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan.
H.   PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.

I.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1.      CT scan (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2.      MRI
Digunakan sama dengan CT scan  dengan / tanpa kontras radioaktif.
3.      Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.      Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5.      Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
6.      BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7.      PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.
8.      CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intracranial.
10.  Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
11.  Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12.  Toraksentesis menyatakan darah / cairan.
13.  Analisa Gas Darah (AGD / Astrup)
AGD adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

J.     PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1.      Bedrest total.
2.      Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3.      Pemberian obat-obatan
§  Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
§  Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
§  Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
§  Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4.      Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5.      Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

K.   KOMPLIKASI
a.      Perdarahan ulang
b.       Kebocoran cairan otak
c.       Infeksi pada luka atau sepsis
d.       Timbulnya edema serebri
e.       Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
f.         Nyeri kepala setelah penderita sadar
g.       Konvulsi

II.   KONSEP KEPERAWATAN
A.      PENGKAJIAN
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera
dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala                       : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda                            : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
b. Sirkulasi
Gejala                       :Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,takikardia yg diselingi bradikardia disritmia)
c. Integritas ego
Gejala                     : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda                     :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi.

d. Eliminasi
Gejala                     : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/cairan
Gejala                     : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda                     : muntah,gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala                       :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda                       : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tdk simetris, Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala                       : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda                       : Wajah menyeringai,respon menarik pd ransangan nyeri, nyeri yang hebat,merintih.
h. Pernafasan
Tanda                     : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi.
i. Keamanan
Gejala                       : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda                       : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan, Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran cairan dari telin ga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak, Demam.
B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.             Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma.
2.             Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
3.             Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
4.             Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
5.             Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
6.             Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.

C.      RENCANA KEPERAWATAN
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi
Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam

Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda  penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.
Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang. Sentuhan yang ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.
Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver.
Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah.
Aktivitas ini dapat meningkatkan intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku.
Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika di gunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
Dapat meningkatkan repons otomatis yang potensial menaikkan TIK.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.
Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.
Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intracranial.
Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit neurologis yang menandakan peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi.
Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : manitol, furoscide.
Diuretic mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : dexamethason, methyl prenidsolon.
Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein.
Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen.
Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED.
Membantu memberikan informasi tentang efektifitas pemberian obat.
DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi
Rasionalisasi
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm.
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat digunakan.
Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.
Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer.
Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
§  Pemberian antibiotik.
§  Pemberian analgesic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji keadaan jalan napas
Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).
Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda batas bibir.
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai perekat khusus.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril.
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi).
Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

Lakukan pernapasan diafragma.
Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
§  Pemberian ekspektoran.
§  Pemberian antibiotic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.
Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainage, perkusi/penepukan.
Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol).
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle/bronchospasme.

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.

Akan melansarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan respons motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgesic untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,  
Intervensi
Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital
klien dan status relirologis klien

Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.
Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi
(pernafasan cheyne – stokes).
Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit
dan kedalaman persepsi.
Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /
bantal kecil. Hindari pemakaian
bantal besar pada kepala

Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang selanjutnya akan
meningkat TIK.

Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 –
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai
indikasi

Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :
- Diuretik
- Steroid
- Analgetik sedang
- Sedatif

·      Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak
TIK.
·      Menurunkan inflasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan.
·      Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ pada TIK tetapi  harus digunakan dengan hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
·      Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas


DX 6 : gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. 
Intervensi
Rasional
Mandiri
Evaluasi kemampuan makan klien

Klien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau memberi makanan parenteral.
Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan.
Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makan
Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).
Berikan makanan kecil dan lunak
Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada lambung.
Kolaborasi
Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klien
Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti serum, transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.

Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.



DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html